Jumat, 03 Juli 2020

5 Kesalahan Berbahasa


5 Kesalahan Berbahasa
Oleh : ANTON HILMAN.S.Pd., M.Pd
GURU SDN 08 TAROK DIPO BUKITTINGGI

1. Tingkat Fonologi ( kesalahan menggunakan huruf)
Misalnya : "Syalam." Yang maksudnya : "Salam".
Contoh kalimat :
" Sepedah ini untuk kita semuah".
Maksudnya : " Sepeda ini untuk kita semua."
2. Tingkat Morfologis ( kesalahan pembentukan kata , frase )
Misalnya : " Bapak walikota harus berani merubah 
daerah yang merugikan.."
Maksudnya : mengubah.
3. Tingkat Sintaksis ( kesalahan susunan kalimat, termasuk logika kalimat )
Misalnya : " Kesalahan anak itu yaitu ialah membolos"
Maksudnya : " Kesalahan anak itu ialah membolos."
Atau : " Kesalahan anak itu yaitu membolos."
4. Tingkat Semantik ( kesalahan makna kata )
Misalnya : " ...karena kita sudah etis maka kita harus regional".
Maksudnya : eksis, rasional.
Misalnya : Narapidana itu lulus dari penjara tadi malam dengan merusak terali jendela.
Maksudnya : Narapidana itu lolos dari penjara tadi malam dengan merusak terali jendela.
5.Tingkat Wacana ( koherasi antara kalimat atau logika, satu paragraf dengan paragraf yang lain tidak saling bersinggungan secara logis )
Misalnya : " Dia orang terkurop oleh karena itu korupsi tidak ada".

Kamis, 02 Juli 2020

Coming soon.

"MENGENANG KEBERSAMAAN"

 Banyak cerita suka cita di sela-sela kegiatan pengabdian sebagai tenaga pendidik dan kependidikan  antara Kepala Sekolah dengan guru , guru sesama guru yang pernah menjadi bagian dari 08 Tarok Dipo. Semua akan terangkum lagi dalam satu kegiatan  Dunsanak gathering 08 Tarok Dipo. 

Selasa, 03 Desember 2019



PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL DI SD

                                        
                                              
                     
                             
                           ANTON HILMAN,S.Pd, M.Pd
                 SDN  08 TAROK DIPO KOTA BUKITTINGGI

Arus globalisasi saat ini menyebabkan terkikisnya nilai-nilai kebangsaan pada warga negara Indonesia khususnya para pelajar di berbagai tingkat pendidikan. Fenomena tersebut bahkan telah menyebabkan lunturnya identitas kebangsaan dikalangan para siswa.Hal ini tentu saja harus mendapatkan perhatian serius dari kita semua khususnya para pelaku dunia pendidikan, Fakta yang muncul adalah siswa lebih bangga dengan hasil budaya asing daripada budaya bangsanya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa bangga yang lebih pada diri anak manakala menggunakan produk luar negeri (impor), dibandingkan jika menggunakan produk bangsanya sendiri. Bahkan saat inipun anak-anak sudah tidak mengenal lagi permainan tradisional (seperti: congklak, petak umpet, lompat tali, dll) karena sudah teralihkan dengan permainan yang terdapat dalam Gadget. Padahal permainan tradisional tersebut merupakan bagian dari kearifan lokal sebagai salah satu unsur kebudayaan bangsa Indonesia.
Pendidikan  berbasis  kearifan  lokal adalah  pendidikan  yang  mengajarkan  peserta  didik  untuk  selalu  lekat  dengan  situasi  konkret  yang  mereka  hadapi. Dengan itu, peserta  didik  akan semakin  tertantang  untuk  menanggapi setiap situasi  secara  kritis dan melatih keaktifan serta kemandiriannya sehingga nantinya akan meningkatkan keterampilan social peserta didik itu sendiri. Kearifan lokal juga merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Proses ini akan menghasilkan pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal itu sendiri, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli suatu daerah tertentu. Hal ini dapat dijadikan sebagai sumber materi dan nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam pembelajaran IPS di sekolah.
Pengembangan keterampilan sosial anak melalui kegiatan bermakna dan menyenangkan dapat dijelaskan dengan teori Developmentally Appropriate Practice. Pendekatan ini dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan bakat, minat, dan potensi-potensi yang dimilikinya sesuai dengan perkembangannya (Kurniati,2016: 13). Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada Developmentally Appropriate Practice, menempatkan anak sebagai individu yang berada pada center of action. Pemilihan strategi pembelajaran yang tertuang dalam program pendidikan harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, bukan anak yang menyesuaikan program yang dibuat oleh orang dewasa dan harus disesuaikan dengan konteks budaya dimana peserta didik itu berada.
Oleh karena itu, perlu dikaji lebih dalam lagi  bagaimana menanamkan rasa cinta budaya bangsa sendiri kepada peserta didik melalui pengintegrasian nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal) dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar.  Karena pengenalan kearifan local harus diajarkan sedini mungkin, yang nanti akan memiliki pengaruh terhadap sifat dan tingkah laku peserta didik dimasa yang akan datang. Dengan mengenal, mencintai, dan melestarikan kearifan lokal, jati diri bangsa Indonesia tidak akan hilang, sehingga akan melahirkan generasi muda yang mencintai budaya daerahnya, memiliki sikap nasionalisme yang kuat terhadap Negaranya.



Senin, 25 November 2019



Pentingnya Menanamkan High Order Thinking Skills (HOTS) Pada Peserta Didik
 ANTON HILMAN,S.Pd, M.Pd
                    GURU SDN  08 TAROK DIPO KOTA BUKITTINGGI

Banyaknya masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti, tawuran, seks bebas, narkoba dan perilaku menyimpang lainnya, hingga permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran itu sendiri. Permasalahan ini harus segera diatasi, hingga tidak menjadi kebiasaan bagi peserta didik sampai mereka dewasa nantinya. Kalau tetap dibiarkan, maka generasi bangsa akan mudah terpengaruh dengan budaya-budaya negatif yang muncul, salah satunya seperti tingginya tingkat Korupsi , Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pertanyaannya adalah, bagaimana Pendidikan mampu menanggulangi permasalahan ini?  Banyak sekali hal-hal yang perlu diperbaiki dalam proses pendidikan kita saat ini, salah satunya merubah “Pengajar menjadi Pembelajaran” dalam artinya merubah sistem pembelajaran dari Teacher Centered Learning (TCL)  menjadi Student Centered Learning (SCL).
SCL dipercaya sangat efektif dalam meningkatkan proses pembelajaran guna meraih hasil belajar peserta didik secara optimal. SCL merupakan sebuah model pembelajaran yang memfasilitasi para peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan ini dilakukan dengan membaca buku-buku teks, membaca buku-buku digital dalam komputer, mencari bahan dari sumber-sumber online, dan mendiskusikan informasi yang diperoleh di dalam kelas. Selain belajar dengan banyak sumber, proses ini memungkinkan peserta didik belajar dengan senang hati dan dapat menikmati setiap prosesnya, baik di dalam maupun di luar kelas.
Pembelajaran SCL yang saat ini menjadi konsep dalam kurikulum 2013 merujuk kepada pembelajaran konstruktivisme, dimana pengetahuan yang dibentuk peserta didik merupakan hasil dari konstruksi pemikirannya dan interaksinya dengan objek, fenomena, pengalaman dari lingkungan mereka. Sejalan dengan Poedjiadi (2005 :70) yang  mengatakan bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”. Melalui pembelajaran berbasis SCL ini, maka kan semakin mengasah kemampuan peserta didik untuk memiliki High Order Thinking Skills (HOTS) yang artinya keterampilan berpikir dan bernalar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan atau memecahkan suatu kasus atau masalah. Ranah kognitif yang dikemukakan oleh Anderson, Dkk (2001) merevisi ranah kognitif sebelumnya dari bloom. Anderson membagi menjadi 2 bagian yaitu : (1) mengingat (remember); (2) memahami (understand); (3) mengaplikasikan (apply); termasuk dalam kategori kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS) dan (4) menganalisis (analyze); (5) mengevaluasi (evaluate); dan (6) mencipta (create) termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS), merupakan salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk menghadapi tantangan era global yang sudah ada di depan mata. Untuk itu, diharapkan guru dan lembaga pendidikan merencanakan setiap proses pembelajaran untuk menumbuhkan keterampilan HOTS peserta didik untuk pemecahan masalah, pemikiran kritis, dan keterampilan inovatif.  Karena di dalam pembelajaran guru merupakan sumber pembelajaran yang mampu memfasilitasi peserta didik  dan bertanggung jawab untuk membentuk siswa menjadi individu yang siap menjadi tenaga kerja modern yang memiliki pemikiran kritis, kreatif, komunikator yang kompeten, dan pemecah masalah yang baik.

Minggu, 24 November 2019

KALENE CAPEKLAH GADANG

Assalamualaikum.Wr.wb.
Perkenalkan diri dulu ya, Nama ku Khaneez Deba Hilman biasa di panggil Uni Nenez. Lagi studi di sebuah tk Islam di Kota Bukittinggi. Hobi saat ini  main pianika dengan lagu andalan paman datang.
Kalau cita- cita maunya jadi dokter, ya pokoknya ilmunya yang bisa bermanfaat bagi orang banyak.
Mungkin itu dulu perkenalannya ntar uni Nenez sambung lagi ya..
Assalamualaikum.Wr.wb.

Senin, 18 November 2019


SELF REGULATED LEARNING BAGI PESERTA DIDIK DALAM PENGGUNAAN GADGET.


                                                 

                                          ANTONHILMAN,S.Pd, M.Pd
 GURU SDN  08 TAROK DIPO KOTA BUKITTINGGI


Di zaman globalisasi saat ini, penggunaan media komunikasi berupa gadget (handphone, smartphone, laptop, tablet, note, mp3 dan lain-lain) sudah  hampir dimiliki oleh setiap  orang mulai dari yang tua maupun yang muda bahkan anak-anak usia 7-15 tahun sudah menggunakan dan mengerti akan  pengoprasian  fasilitas  gadget  (internet,  game,  sosial  media,  telepon  dan SMS).
Kemajuan  Teknologi  Informasi  dan  Komunikasi  (TIK) ini memang memberikan  banyak dampak positif dan negative di saat yang bersamaan, terutama untuk anak yang masih dalam usia sekolah. Penggunaan Gadget secara berlebihan berpengaruh pada interaksi sosial anak terhadap lingkunganya internal (keluarga) maupun eksternal (lingkungan sekolah dan pertemanan). Selain itu, tanpa disadari seseorang yang sering manggunakan gadget dapat menyebabkan  terjadinya  kesenjangan sosial dalam bermasyarakat, dan yang lebih parahnya lagi bisa berakibat kepada perkembangan psikologis peserta didik tersebut.
Pintrich (1990: 4)  mengatakan bahwa peserta didik dapat memahami bagaimana mereka harus belajar, siswa mengetahui tentang bagaimana mereka memilih strategi dalam meregulasi dirinya dalam belajar (Self-Regulated Learning)Jadi, untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu langkah yang dapat digunakan yanitu dengan melatih dan mengembangkan Self Regulated Learning (SRL) atau pengelolaan diri dalam belajar untuk mencapai tujuan dari pendidikan dan membantu peserta didik mengendalikan  pemakaian gadget secara berlebihan. 
Saat ini, penggunaan  gadget merupakan sebuah tuntutan trend. Penggunaan gadget pun kadang menjadi alasan  untuk menutupi rasa bosan karena jam pelajaran yang panjang. Banyak orang beranggapan bahwa gadget dapat diibaratkan sebagai sebilah pisau. Jika mahir menggunakannya secara tepat, pisau itu dapat membantu pekerjaan secara tepat dan cepat. Namun, pisau itu dapat melukai pemiliknya jika tak mahir menggunakannya.
Bandura (1997:67) dengan asumsi triadik resiprokalitas (triadic reciprocality) mengatakan bahwa terdapat tiga aspek determinan atau faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan diri dalam belajar, yakni aspek diri, perilaku dan lingkungan. Disinilah letak pentingnya menanamkan sikap pengelolaan diri (Self Regulated) agar peserta didik bijak dalam menggunakan gadget, sehingga gadget bukan hanya untuk sekadar menampilkan eksistensi diri, gengsi, atau ikut ikutan mode saja tapi  bisa menjadi alat penunjang dalam proses belajar. pribadi setiap individu dalam memandang belajar untuk dirinya sendiri. (Zimmerman, 1990: 3 -17) menjelaskan bahwa self regulated learning menekankan pentingnya tanggungjawab personal dan mengontrol pengetahuan dan keterampilanketerampilan yang diperoleh
Penelitian dari para ahli psikologi, mengatakan bahwa yang mempengaruhi tumbuhnya Self Regulated Learning (SRL) adalah self efficacy dan dukungan social.  Menurut Bandura (1997) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan hasil positif. Faktor kedua adalah Dukungan sosial termasuk sebagai faktor lingkungan. Baron dan Byrne (2005;75) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik & psikologis yang diberikan oleh teman/anggota keluarga. Menurut Johnson & Johnson (1991:472) dukungan sosial berasal dari orang-orang penting yang dekat (significant others) bagi  individu yang membutuhkan bantuan misalnya di sekolah seperti guru dan teman-temannya. 

Dari uraian di atas tentang Self Regulated Learning (SRL) dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Self regulated learning dapat digunakan sebagai sebagai dorongan dan kegiatan individu untuk mengelola pembelajarannya sendiri. Disisi lain self regulated learning dapat digunakan oleh sebagian guru/dosen sebagai model/strategi pembelajaran untuk meningkatkan proses pembelajaran di kelas.
2.    Penggunaan gadget akan lebih bermanfaat apabila siswa memiliki self regulated learning yang kokoh agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif yang akan muncul apabila tidak dikelola dengan baik.
3.    Penggunaan model pembelajaran yang berbasis gadget dapat digunakan sebagai sebuah strategi pembelajaran agar lebih menarik perhatian dari peserta didik.

Daftar pustaka
Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman
Baron, R. & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial edisi 10. Jakarta: Erlangga
Betz. 2004. Self Regulated Learning in High-Achiever Student, (online). (www. blogsome.com./2007/10/18/artikel-artikel-self regulated learning-styles/-20), diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Hasella, M.O.(2013). Dampak penggunaan   smarthphone  di  kalangan pelajar. Universitas Lambung Mangkurat program studi ilmu komputer fakultas                             MIPA. http://www.slideshare.net/nur_ Anita92/metpen- 28928073.   Diakses   14 November 2014.
Johnson, D., Johnson, R., and Smith, K. (1991), Cooperative Learning: Increasing College Faculty Instructional Productivity, ASHE-ERIC Higher Education Report No. 4, Washington, DC: The George Washington University.
Pintrich, Paul et al. (1990). Motivational and self-regulated learning components of classroom academic performance, Journal of Educational Psychology.

Usman, Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Valle, A., Núñez, J.C., Carlos, J., Cabanach, R.G., GonzálezPienda, J.E., Rodríguez, S., Rosario, P., Cerezo, R., & Muñoz Cadavid, M.A. (2008). Selfregulated profiles and academic achievement. Psicothema, 20( 4), 724731
Wollfolk.  (2008).  Educational  Psychology. Active Learning Edition Tenth Edition. Boston: Allyn & Bacon.
Wahyudi, Johan (2015). Pemanfaatan Gadget untuk Meningkatkan MutuPembelajaran.http://www.kompasiana.com/johanmenulisbuku/pemanfaatan-gadget-untuk-meningkatkan-mutu-pembelajaran_55176aea813311cb669de670
Zimmerman, B. J. (1986). Becoming A Self Regulated  Learner.  Which  are  the  key subprocesses? Contemporary Educational Psychology, 11, 307313.
Zimmerman, B.J. (1990). Self Regulated Learning  And  Academic  Achievement: An  Overview.  Educational Psychologist,25 (1), 317.
Zimmerman, B. J & Bandura, A. (1994). Impact of self-regulation influence on writing course attainment. American Educational Research Journal.